Subscribe

17 Desember 2007

Tuhan dalam baskom


Lek Sapar sedang menggelepar.

Ia menggigil dalam selimut sarung tipis yang penuh lobang bekas percikan api rokok.

Pelipis kiri dan kanan ditempel satu koyo yang diparuh jadi dua. Kaos kaki bolong bagian jempol pinjaman dari Karto sudah dipakai. Tapi dingin masih juga menjalari sekujur tubuhnya. Bantal kapuk gembos, menopang lehernya yang meregang karena panas tinggi. Kedua matanya merem melek, kabur menatap kecoa-kecoa yang berpesta di sudut lembab kamar ½ meter X 1 ½ meter. Mulutnya gemetar, setengah bergumam, separuh komat-kamit, menyebut nama Gusti Tuhan.


Karto datang membawa sekrop karatan.


Lek..sekropnya aku kembalikan..suwun..”


Huhuhuhh…huhuhuhhhh….”


Karto mengamati Lek Sapar yang cuma bisa bergumam tak jelas.


Kenapa Lek? Sampean sakit tah?”


Ndak…lagi sembahyang…huhuhhhhh….”


Oh, kupikir sakit, kok badan sampean seperti menggigil kedinginan begitu..”


Ya ini aku lagi sakit, goblok!”


Karto garuk-garuk kepala. Lalu ia duduk bersimpuh di dekat lek Sapar.


Sudah jelas orang sakit kok pake ditanya.. kebangeten kamu itu To..sudah gitu, bezuk orang sakit kok bawa sekrop..mbokya bawa buah-buahan gitu…jeruk apa apel…”


Lha saya mana tahu kalo sampean sakit lek?”


Makanya kamu itu jangan mblakrak keluyuran sampek ndak pulang segala…lha kalau aku pas sakit terus mati …gimana?”


Ya dikubur lek..”


Ndas mu!”


Lha iya to..masak mati dibiarkan?…ya dikubur lek..”

Kamu pikir ngubur orang ndak pake duit? Apa kamu punya duit buat beli tanah kuburan?”


Lho? Aku pikir tanah kuburan itu gratis lek?”


Lha apa kamu kira kamu hidup di desa Kedung kandang tempat kamu mbrojol?...ini di kota To! Apa-apa beli, apa-apa mbayar…”


Gampang lek,..kalo ndak mampu beli tanah ya bathang sampean saya kintirkan di sungai..”


Makmu!! Kamu bisa dituduh mencemari lingkungan hidup!!, lagipula apa kamu pikir aku ini ayam ? ”


Lho duitnya kan bisa buat bancakan 40 hari sampean?”


Sudah! Pegel ngomong sama Raimu itu!”


Lek Sapar membetulkan letak selimut sarungnya. Karto celingukan.


Sampean ndak masak toh lek?..”


Lek Sapar mencep. Ia miringkan badannya ke arah tembok, membelakangi Karto.


Tahu kalo sampean ndak masak, tadi aku beli nasi bungkus lek..”


Lek Sapar menutup kedua telinganya. Karto keheranan melihat polah lek Sapar.


Aku bikin kopi ya lek?.. cangkemku kecut seharian belum nyeruput kopi lek…”


Tanpa menunggu persetujuan lek Sapar, Karto segera beranjak bikin kopi. Dia ke arah meja kayu tanpa taplak. Di atas sana ada toples plastik berisi kopi yang tinggal seperempat bagian. Sambil tersenyum ia mengambil gelas dan menuang kopi dua sendok. Lalu ia mencari gula. Dimana lek Sapar menyimpan gula? Ia tengok kanan kiri tapi tak juga menemukan toples atau plastik bungkus berisi gula.


Gula sampean taruh mana lek?”


Tak ada jawaban dari lek Sapar. Karto menoleh. Dilihatnya lelaki yang sakit itu ternyata menutup kepalanya dengan bantal.

Karto segera menghampiri, lalu mencolek kakinya.


Gula sampean simpen dimana lek?”


Kaki lek Sapar tiba-tiba njejeg tangan Karto. Karto kaget.


Mbok sudah,..aku jangan diganggu dulu..aku mau istirahat dulu..”


Lek Sapar terus menutupi kepalanya dengan bantal.


Yang ngganggu sampean itu siapa?..aku lho cuma mau bikin kopi lek..”


Lek Sapar diam. Karto membuang nafas.


Aku lho cuma nanya gula sampean simpen dimana, masak aku bikin kopi ndak pake gula?”


Lha apa kamu pikir, kalau gula ndak ada itu berarti aku simpen?”


Tiba-tiba lek Sapar melempar bantal ke wajah Karto. Karto lagi-lagi kaget. Kini lek Sapar bangkit dan duduk menghadapi Karto. Matanya melotot memandangi Karto.


Sebentar toh lek,..sampean itu sakit apa ketempelan? Sakit kok murang-muring?, kuat njejeg lagi..”


Yang kebangeten itu kamu.., sudah minggat sana..!”


Ndak usah disuruh, aku minggat sendiri, tapi aku mau bikin kopi dulu lek..biar ndak ngantuk..”


Bawa sini saja ndasmu, tak gibengnya..nanti kan kamu ndak ngantuk..”


Karto menatap Lek Sapar. Ia mengamati raut muka laki-laki separuh baya yang ada di depannya. Ia melihat kegetiran, telah bersenyawa dengan kesepian, menyusup dalam jangat pori-pori lelaki yang selama ini menemaninya kerja. Menemaninya hutang makan di warung, menemaninya jalan kaki ke pasar buat cari tambahan dengan jadi kuli angkut. Menemaninya saat beli baju di pasar loak. Menemaninya ngobrol soal perempuan, pendeknya, Lek Sapar lah yang lebih banyak menemaninya hidup ketimbang sanak saudara atau teman-temannya yang lain.


Koyo yang menempeli wajah lek Sapar, membawanya ke memori bahwa saat sedang sakit, laki-laki itulah yang memaksanya minum jamu. Saat keseleo, laki-laki itulah yang mengurut otot kakinya. Saat ndlahom lantaran tak ada yang bisa dimakan, laki-laki itulah yang tiba-tiba menyodorkan ubi rebus ke hadapannya.


Kali ini Karto menyodorkan kepalanya ke arah lek Sapar. Ia pasrah kalau akhirnya lelaki yang sudah banyak menemani dan merawatnya itu akan sungguh-sungguh menempeleng kepalanya.


Ganti kini Lek Sapar yang keheranan. Ia melihat Karto, menyerahkan kepala persis di posisi yang memudahkan tangannya buat menghadiahi Karto sekepal bogem mentah. Ia sendiri lebih sibuk mengurus bau tengik rambut Karto yang menteror lubang hidungnya. Hidungnya nyengir lantaran terpaksa mencium bau tengik itu.


Karto sendiri keheranan, kenapa kepalanya belum juga dipukul.


Jadi ndak lek?”


Apanya?”


Lho, katanya tadi mau nggibeng ndasku?”


Lek Sapar menelan ludah. Kata ‘ndak tega’ sekonyong itu muncul di dalam hatinya. Ia tahu ia sering berkata kasar, tapi tidak hatinya. Kata ‘ndak tega’ lah yang selama ini menjadi drive hidupnya. Menjadi motivasi dalam hidup yang dijalaninya. Mungkin karena itu ia tak bisa sesukses Cak Jumali yang sekarang sudah mapan jadi pengurus partai. Kalau mau sebenarnya, dia bisa bahu membahu dengan Cak Jumali mengumpulkan dan sedikit ‘mengolah kata’ kepada ratusan teman-teman kere nya agar berbondong-bondong nyoblos partai yang menjanjikan uang dan jabatan. Tapi ‘ndak tega’ lagi-lagi menghalanginya.(tubi kontinyu)